Wanita Network

Inklusivitas pada Dunia Fashion dan Kecantikan

Keragaman bentuk tubuh, kulit, ras untuk kampanye #aeriereal foto: Instagram/Aerie

 

Maret lalu, unggahan foto Tara Basro mengenakan pakaian dalam menjadi viral di media sosial. Foto tersebut menunjukkan perut artis pemeran Merpati dalam Gundala dengan lipatan yang sering dianggap kekurangan dan tak cantik untuk diperlihatkan. Melalui foto tersebut ia menyuarakan pesan cinta tubuh sendiri. Lipatan pada bagian perut, tangan serta paha yang tidak terlalu kurus, dada rata, stretch mark, atau selulit merupakan hal yang wajar. 

 

Saat ini isu sikap inklusif menjadi sangat kuat di industri fashion dan beauty. Hal tersebut berhubungan dengan model yang dahulu didominasi oleh kulit putih, bertubuh kurus, dan terkesan tidak adanya keragaman, bertentangan dengan target pasar yang semakin mendunia. Oleh karena itu, beragam merk menunjukkan sikap inklusif dalam kampanye serta pemasaran mereka. 

 

Aerie, lini pakaian dalam serta pakaian renang dari American Eagle Outfitters menampilkan foto kampanye dengan perempuan beragam tipe badan, kulit, ukuran bahkan tidak melakukan digital imaging. Christian Louboutin menggunakan model berukuran ekstra pada kampanye media sosial. Dove juga mengampanyekan ‘real beauty’ dengan menggunakan perempuan beragam usia, bentuk tubuh, dan warna kulit. Fenty Beauty dan Skims by Kim Kardashian West menggunakan model multiras serta beragam bentuk tubuh yang menyuarakan relevansi kebutuhan pasar masa kini. Halima Aden menjadi supermodel berhijab dan jalan untuk rumah mode ternama seperti Max Mara dan Alberta Ferretti.

 

Hunter Schafer, runway Coach 1941 SS18 (Foto: Instagram/hunterschafer); Nathan Westling pada majalah i-D (Foto: Instagram/nathanwestling); Teddy Quinlivan, runway Alexandre Vauthier SS20 Couture (Foto: Instagram/teddy_quinlivan)

 

Sikap inklusif juga mencakup peningkatan permintaan model dengan gender tak umum. Mereka muncul di peragaan, kampanye, serta halaman editorial majalah mode internasional. Teddy Quinlivan, Indya Moore, Tracey “Africa” Norman, Nathan Westling, Finn Buchanan, Dilone, Krow Kian, Ruth Bell, Selena Forrest artis Hunter Schafer, dan Indya Moore merupakan sebagian persona bergender tak umum yang jalan pada panggung peragaan serta kampanye rumah mode ternama seperti Miu Miu, Dior, Prada, Gucci, hingga Chanel. 

 

Sedangkan Indonesia baru mengambil sikap inklusif pada gelaran Jakarta Fashion Week 2019 dan 2020. Pada gelaran JFW 2019 dengan British Council menggunakan model difabel sedangkan JFW 2020 bekerja sama dengan 1000 paras dengan menampilkan model berkebutuhan khusus pada salah satu show oleh Jakarta Youth Meet Up.

 

SKIMS by Kim Kardashians West (Foto: dok. SKIMS)

 

Kemunculan ragam individu yang lebih beragam didukung hasil riset dari Villanova University dan College of New Jersey tahun 2008. Hasil studi menunjukkan sebuah iklan yang dibuat glamor membuat wanita muda merasa negatif terhadap diri sendiri dan para partisipan riset akan lebih membeli produk yang menggunakan model dengan fisik layaknya wanita pada umumnya. Lalu, pada Journal of Social and Clinical Psychology tahun 2004, hasil riset University of Sussex, Inggris menunjukkan menampilkan model yang sangat kurus akan membuat perempuan merasa lebih buruk terhadap penampilan mereka sendiri dan tidak membuatnya membeli produk tersebut.

 

Kehadiran media sosial yang semakin kuat, perubahan budaya cara pandang, lansekap politik, dan target pasar makin beragam membuat perihal tentang gender, multikultur, multiras, kaum marginal, atau sebuah kelompok masyarakat yang sebelumnya tak tersentuh menjadi masalah besar untuk diperhatikan para pemilik merk dagang. Masyarakat dapat dengan vocal menyuarakan pendapat mereka atau kelompoknya dengan bantuan berbagai medium teknologi.

 

Sikap inklusif merefleksikan semakin meluasnya perubahan sosial, politik, dan teknologi yang memberikan kesempatan serta risiko dalam menjalankan perusahaan berbasis market global. “Sikap inklusif bukanlah sebuah tren; keragaman dan sustainability akan terus tumbuh dan mendominasi di industri ini. Perusahaan yang mengikuti arus gerakan ini akan bertahan dan yang tidak akan mengalami kesulitan,” ujar Dr Ronald Milon chief diversity officer dari Fashion Institute of Technology, New York, Amerika Serikat. (wn)

Artikel Terpopuler

Emagz