Sebagai salah satu bentuk upaya untuk melindungi wanita dan anak-anak membuat United Nations Children’s Fund (UNICEF) menetapkan tanggal 6 Februari sebagai hari
Zero Tolerance Day to Female Genital Mutilation (FGM). Data UNICEF menyebutkan bahwa setengah dari 200 juta anak perempuan berusia 0 – 14 tahun yang mengalami sunat antara tahun 2010 – 2015, terjadi di Gambia, Mauritania, dan Indonesia!
Di datanya, UNICEF memang tidak menjelaskan secara detail seperti apakah sunat perempuan secara teknik. Namun, World Health Organization (WHO) membagi definisi sunat perempuan menjadi empat kategori. Tipe I, memotong sebagian atau seluruh bagian klitoris. Tipe II, memotong seluruh atau sebagian klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa memotong labia mayora. Tipe III, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi). Tipe IV, prosedur lain yang bisa membahayakan alat kelamin wanita tanpa indikasi medis sepertu menindik, menggores, atau menusuk vagina.
Dengan definisi tersebut, jelas data yang dirilis UNICEF bahwa 49% anak perempuan berusia 0-14 di Indonesia mengalami sunat perempuan sangat mengagetkan dan membuat miris. Berbagai pihak kemudian mempertanyakan data tersebut pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang menyumbangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) 2013 ke dalam data UNICEF tersebut.
Pertanyaan tentang sunat perempuan juga dimasukkan dalam survei RISKESDAS 2013 yang mencakup 300.000 rumah tangga di 33 provinsi secara acak. Survei itu menemukan bahwa Gorontalo menjadi daerah dengan praktik sunat perempuan terbanyak di Indonesia. Ini karena di sana masih kuat tradisi yang disebut
mo polihu lo limu atau sering disebut
molubingo.
Mo polihu lo limu dalam bahasa daerah Gorontalo berarti mandi air ramuan jeruk, sedangkan
molubingo artinya mencubit. Inti dari tradisi ini adalah mengkhitan anak perempuan yang menjelang usia dua tahun sebagai bukti keislaman seorang wanita.
Acara ini dimulai dengan pembacaan doa selawat, lalu membasuh air wudu pada anak perempuan yang akan dikhitan. Di dalam kamar, anak perempuan yang akan dikhitan didudukkan di atas bantal di pangkuan orang tua, dan ditutup kain putih. Khitan dilakukan dengan membersihkan selaput tipis di klitoris dengan cara mencubit, tanpa melukai apalagi sampai mengeluarkan darah, dilanjutkan dengan mandi air jeruk.
Di bagian selatan Sulawesi, masyarakat Bugis juga mengenal tradisi khitan bagi anak perempuan yang disebut
makkatte’ sebagi ritual pengislaman bagi anak perempuan. Biasanya dilakukan pada anak berusia antara 4 – 7 tahun. Proses khitan yang biasanya menggunakan pisau kecil ini dilakukan oleh
sanro, wanita yang ahli dan dipercayai oleh keluarga si anak.
Tradisi membuang selaput tipis pada ujung klitoris juga ada di Jawa Barat. Biasanya dilakukan oleh paraji atau dukun beranak tradisional. Tanpa upacara seperti di Gorontalo, secara kebiasaan para paraji saat memandikan bayi yang baru lahir selama beberapa hari pertama membuang kulit tipis di ujung klitoris menggunakan alat seperti pinset, lalu mengoleskan antiseptik pada area tersebut.
Survei Riskesdas tersebut juga mengungkap fakta bahwa praktik sunat sangat beragam bentuknya di Indonesia. Ada juga yang sekadar mengusap klitoris menggunakan kapas, daun sirih, atau kunyit. Bila mengacu pada kategori yang dijabarkan WHO tadi, laporan UNICEF menyebutkan bahwa di Indonesia pun dilakukan praktik sunat perempuan dari semua tipe, termasuk tipe 1 yang memotong sebagian atau seluruh bagian klitoris.
Foto: Pexels