Foto ilustrasi: Pexels
Iran merupakan salah satu negara terjangkit COVID-19 dengan kondisi yang berat. Sejak melaporkan adanya 1.808 kasus positif COVID-19 pada Februari di Qom, kota peziarahan terkenal di Iran, kasus terus meningkat hingga mencapai 145 ribu terinfeksi per Senin (1/6/2020).
Untuk meredam penularan virus, pemerintah Iran pun memberlakukan kebijakan lockdown pada April lalu. Namun, seiring dengan menurunnya angka kematian bila di bandingkan pertengahan hingga akhir April, per akhir Mei, Iran berhenti mengumumkan data infeksi COVID-19 per provinsi dalam upaya untuk melonggarkan lockdown.
Hasilnya, pada Minggu (31/5/2020) lalu Menteri Kesehatan Oran Saeed Namaki mengatakan bahwa Iran bisa terancam gelombang kedua yang lebih kuat, bila masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan, termasuk tidak mengindahkan social distancing.
"Wabah ini belum berakhir dan setiap saat bisa kembali, bahkan lebih ganas dari sebelumnya,” ujar Saeed Namaki seperti diberitakan Reuters. Bila masyarakat Iran mengabaikan protokol kesehatan, maka Iran harus bersiap-siap pada kondisi yang lebih berat.
Iran melaporkan, per Senin (1/6/2020) ada 154.445 kasus positif, naik 2.979 dari data sehari sebelumnya. Dilaporkan juga 81 meninggal dunia, sehingga total sudah 7.878 jiwa melayang karena COVID-19. Sebagai bagian pelonggaran lockdown, pegawai pemerintah memang sudah kembali bekerja dan masjid-masjid sudah buka kembali per Sabtu (30/5/2020).
Saat ini, berdasarkan data, ada kenaikan kasus di 8 provinsi, Provinsi Khuzestan yang terletak di daerah barat daya Iran menjadi episentrum baru dengan jumlah kasus terbesar. “Khuzestan dalam kondisi kritis," ujar juru bicara Kementerian Kesehatan Iran Kianoush Jahanpour. (wn)