Obituari Didi Kempot
Oleh: Harri Gieb*
Foto: Istimewa
Mencintai seseorang untuk kemudian mengidolakan sosok tersebut, berarti menyadari penuh tentang kefanaan. Bahwa meski dihantui kecemasan akan kehilangan, kita (manusia) pada dasarnya sangat berterima kasih dengan yang fana. Kita, yang fana ini, acap kali akan tenggelam suatu saat bersama suara ‘patah hati’ yang menyanyat namun menyimpan memori puitis itu.
Dalam fana ada sebuah harap. Bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali. Mungkin semacam Sisiphus dalam cerita Albert Camus itu. Suatu waktu, mungkin kita akan berada—seperti dalam sajak Subagio Sastrawardojo—‘ruang kosong dan angin pagi’. Sebab, ada hal-hal yang tak bisa ditaklukkan oleh kata. Sebuah ingatan akan kehilangan: Didi Kempot (Dionisius Prasetyo), 53 tahun, meninggal pada hari Selasa, 5 Mei 2020 pukul 7.30 WIB di Solo, Jawa Tengah.
Kehilangan, rasa itu, mengajarkan tentang arti keikhlasan. Dalam kehilangan, kita menemukan kembali kehidupan sebagai proses, bukan sebagai kesimpulan. Kesimpulan (dari kata “simpul”, yang mengikat), mengimplikasikan adanya kekuasaan untuk menetapkan dan mengikat, adanya pemaksaan untuk menutup tafsir. Di hadapan wacana yang seperti itu, kita adalah keterbukaan kepada yang tak rapi terumuskan, yang tak ternamai. Peristiwa-peristiwa yang mengagetkan. Yang memaksa kita untuk selalu terbuka kepada keheningan yang bukan kosong, kepada suwung yang sebenarnya berisi.
Didi Kempot itu sebuah suwung. Dalam dunia wayang, suwung digambarkan dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi’. Yang ada adalah ‘terang yang bukan terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya malam’. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi (mung alam tumlawung ngalangut datan patepi). Sebuah keheningan yang total–yang juga berarti kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah. “Patah hati tak perlu ditangisi, malah harus dijogeti,” kata Didi Kempot.
Cidro, Pamer Bojo, Kalung Emas, Banyu Langit, Layang Kangen, Suket Teki, Dalan Anyar, Ketaman Asmara, dan ratusan lagu lainnya adalah tentang orang-orang yang diluluhlantakkan oleh cinta. Tentang rasa nelangsa karena ditinggalkan orang-orang yang disayang. Tentang kita yang tidak bisa bergerak karena kenangan bersama mantan. Tentang kita yang tak mudah terima melepaskan yang dicinta. Tentang kita yang seringkali harus menunggu tanpa ada kepastian. Tentang kita yang meski sudah berusaha sebaik mungkin tapi pada akhirnya harus bisa mengikhlaskan.
Didi Kempot mengajarkan, dalam dunia yang fana, patah hati itu tak haram untuk dirayakan. Meski patah hati selalu penuh dengan air mata, tetapi juga tentang bagaimana manusia bertahan dan berdiri tegak setelahnya. Karenanya, ia, sang maestro itu bisa diterima di semua kalangan: dari kaum jelata hingga kerabat istana. Dari penggemar jazz hingga anak metal.
Didi Kempot itu legenda. Dia sudah melalui getir kehidupan. Jika dalam setahun ini dia menemui puncak popularitasnya, itu karena semata-mata laku prihatin yang dijalankan selama puluhan tahun dengan konsistensi di bidangnya; memuliakan bahasa Jawa sebagai bahasa universalitas kemanusiaan.
Sugeng tindak, Mas Didi. Kita semua yang mengenal lagu-lagumu bersaksi, bahwa panjenengan memang orang baik yang dalam semalam bisa mengumpulkan uang 7 milyar untuk mereka yang terdampak corona.
Gusti nimbali sliramu ing kasedan jati, kaya ngombe durung nganti teka jangga. Keselak mandek ing tenggak. Mugi-mugi Gusti paring padhang dalan, jembar kubur, tuwin kebak pangapura. (wn)
*Penulis adalah editor di wanita.network yang juga merupakan sobat ambyar.