Foto: Instagram/ Najwashihab
Bangsa yang selalu yakin pada kebaikan dan kebenaran serta tidak melihat kejahatan sebagai kewajaran merupakan bayangan yang secara implisit disampaikan Najwa Shihab ada di benaknya. “Saya selalu berusaha hati-hati menjawab pertanyaan tentang bagaimana Indonesia yang ideal. Saya tidak ingin jawaban yang saya berikan malah mematikan semangat optimistis masyarakat, apalagi anak muda. Sebab, dua dekade berurusan dengan politik, mudah sekali membuat saya terjebak sinisme dan bersikap serta berkomentar sinis,” katanya.
Namun ia juga melihat ada bahaya besar yang mengancam Indonesia apabila berbagai pembiaran dan penggiringan opini membuat kejahatan dilihat sebagai kewajaran. “Ini berbahaya. Ketika pemakluman terus terjadi, akhirnya kita akan membiarkan itu. Ketika kita membiarkan dan tidak melakukan apa-apa maka kita kalah lagi. Jadi penting sekali untuk selalu menjaga optimisme,” kata Najwa.
Menurutnya, Indonesia memiliki banyak sekali alasan untuk tetap optimistis. “Jumlah anak mudanya yang besar, sumber daya alamnya luar biasa, dan keanekaragaman serta perbedaan kita ini adalah alasan kita untuk tetap optimistis. Optimisme itu harus terus dirawat. Kalau tidak, kita bergerak karena apa?” katanya beretorika. Hal ini pula yang menurut Najwa, mengubah definisi pemimpin yang ideal di dalam benaknya.
“Saat ini, orang yang layak disebut pemimpin itu adalah orang yang bisa menggerakkan semangat bersama. Bukan lagi yang hanya bisa menyuruh A atau B, tapi yang bisa membangun sentimen bersama menggalang solidaritas, menentukan agenda bersama dan membuat orang yakin atas agenda yang dibawa,” katanya. Begitu banyaknya persoalan dan isu yang penting diperjuangkan, membuat persuasi, menurut Najwa, adalah keahlian sangat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. “Karena ada begitu banyak isu, bagaimana membuat isu menjadi penting, itu butuh persuasi. Orang akan percaya seorang pemimpin karena melihat rekam jejaknya, apa yang sudah dia lakukan. Orang akan percaya karena melihat value-nya dan akan mengikutinya,” katanya.
Ia amat percaya bahwa warga negara yang berdaya akan punya kuasa yang lebih ketimbang pejabat yang tidak melakukan apa-apa. Ia mengambil contoh kolektif-kolektif yang dilakukan warga negara bisa menggolkan perubahan. “Itu sebabnya saya selalu bilang pada anak-anak muda di kampus-kampus yang saya datangi bahwa kita lebih
powerful dari yang kita sangka. Asalkan kita merapatkan barisan, enggak mau jadi serdadunya orang lain tapi bikin barisan sendiri, menentukan prioritas dan melakukannya,” kata Najwa.
Kendati demikian, ia tak menafikkan pentingnya berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan. “Tetap perlu sebab sesungguhnya, perubahan sistem dari dalam itu masih yang paling cepat,” katanya. Namun ia tak memungkiri hal sebaliknya yang terjadi. “Orang yang tidak memiliki kapasitas yang cukup bisa saja bukan mengubah malah terbawa arus sistem. Tapi membangun dari dalam sistem tetap perlu. Tentu tidak semua harus masuk politik, tapi harus ada orang yang masuk ke sana. Demikian pula mendorong orang untuk memilih politik sebagai bentuk perjuangan. Tentu masih perlu,” Najwa berujar.
Pergerakan untuk perubahan dari luar dan dari dalam sistem menurutnya merupakan dua hal yang dapat secara sinergis dilakukan. “Keduanya bisa dilakukan dan tidak untuk menegasikan satu dengan yang lain. Bergerak secara mandiri di luar perlu dilakukan, tapi pilihan untuk masuk ke dalam sistem, adalah juga pilihan yang perlu didorong. Terutama perempuan. Karena beratnya, perempuan sendiri tidak memilih perempuan,” kata Najwa.
Wajahnya berubah sedikit muram. Ia sangat ingin menggugah para perempuan untuk mau memilih sesama perempuan. “Saya melihat, politisi perempuan jauh lebih unggul dibanding laki-laki. Banyak yang
under estimate karena politik kerap dianggap keras dan bukan bidang perempuan. Politisi perempuan lebih punya empati, lebih bisa mendengar dan teliti, lebih luwes beradaptasi,” katanya.
Ia sendiri hanya tertawa ketika ditanya, apakah suatu saat akan masuk dan berjuang di dalam sistem. “Pada waktunya mungkin akan terjun. Kalau sekarang, saya masih merasa, lewat Narasi, dan lewat berbagai platform yang saya punya sudah bisa memberikan cukup dampak dan pengaruh. Tapi beberapa waktu ke depan kalau ada kesempatan dan saya merasa akan lebih banyak manfaat dan dampaknya jauh lebih besar dengan terjun ke politik, I might do that,” katanya mantap. Mari kita berharap, saat itu—ketika Najwa memutuskan untuk terjun ke dalam sistem—perempuan Indonesia sudah memiliki kesadaran yang sangat tinggi akan pentingnya memilih dan mendukung sesama perempuan.
(wn)
Artikel ini sudah dipublikasikan di
www.dewimagazine.com