Foto: Harri Gieb
Siapa sih yang tak menggigil membaca puisi Sapardi Djoko Damono? Penyair kita ini tahu betul kekuatan kata. Puisinya selalu membangun ruang imajinasi yang menuntun akal untuk ngungun terpana sebab sederhana. Kata-kata yang demikian sederhana (kita juga sering menulis kata-kata itu) disulap menjadi 'cumbu rayu' yang menggenapi asmara sehingga sempurna.
Dari sekian buku Sapardi Djoko Damono, saya paling 'jatuh cinta' dengan buku Hujan Bulan Juni. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 1994. Sajak-sajak dalam buku ini bukan sekadar berisi sajak-sajak yang baru tapi juga kumpulan beberapa karya Sapardi sebelumnya: duka-Mu abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1983).
Entah kenapa, kata hujan menjadi begitu puitis di tangan penerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand pada 1986 ini. Bagi pecinta puisi, buku ini seperti kitab suci. Wajib punya. Wajib koleksi. Jika Anda tak sempat membaca puisi Sapardi, silakan mendengarkan musikalisasi puisi (YouTube) dari beberapa karya beliau yang dengan baik dibawakan Ari & Reda.
Simaklah puisi ini.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Ribuan undangan pernikahan telah menjadikan puisi ini abadi.
Minggu pagi (19/7), Sapardi telah pergi dalam usia 80 tahun. Kita tak akan lagi membaca puisi-puisi beliau terbaru. Tapi saya yakin, jika Anda semua selalu menjadikan cinta sebagai jalan kemanusiaan, Sapardi akan tetap abadi. Selamat jalan, Prof. Rest in Poetry!
pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul si dinding-dinding gua
pandang dengan cinta. meski segala pun sepi tandanya waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
kepada istriku – 1967
Siapa sih yang tak menggigil membaca puisi Sapardi Djoko Damono? Penyair kita ini tahu betul kekuatan kata. Puisinya selalu membangun ruang imajinasi yang menuntun akal untuk ngungun terpana sebab sederhana. Kata-kata yang demikian sederhana (kita juga sering menulis kata-kata itu) disulap menjadi 'cumbu rayu' yang menggenapi asmara sehingga sempurna.
Dari sekian buku Sapardi Djoko Damono, saya paling 'jatuh cinta' dengan buku Hujan Bulan Juni. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 1994. Sajak-sajak dalam buku ini bukan sekadar berisi sajak-sajak yang baru tapi juga kumpulan beberapa karya Sapardi sebelumnya: duka-Mu abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1983).
Entah kenapa, kata hujan menjadi begitu puitis di tangan penerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand pada 1986 ini. Bagi pecinta puisi, buku ini seperti kitab suci. Wajib punya. Wajib koleksi. Jika Anda tak sempat membaca puisi Sapardi, silakan mendengarkan musikalisasi puisi (YouTube) dari beberapa karya beliau yang dengan baik dibawakan Ari & Reda.
Simaklah puisi ini.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Ribuan undangan pernikahan telah menjadikan puisi ini abadi.
Minggu pagi (19/7), Sapardi telah pergi dalam usia 80 tahun. Kita tak akan lagi membaca puisi-puisi beliau terbaru. Tapi saya yakin, jika Anda semua selalu menjadikan cinta sebagai jalan kemanusiaan, Sapardi akan tetap abadi. Selamat jalan, Prof. Rest in Poetry!
pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul si dinding-dinding gua
pandang dengan cinta. meski segala pun sepi tandanya waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
kepada istriku – 1967
(Harri Gieb, Editor Wanita.Network)