Foto: Pexels
Aksi bully sering kali diawali oleh peer-pressure, terutama di kalangan remaja dan praremaja yang sedang mengalami krisis identitas dan ingin disukai semua orang. Menurut Frank Riessman, co-director di Peer Research Laboratory,The City University of New York, Amerika Serikat, peer-pressure bisa menjadi pemicu yang mendorong anak melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, serta mengasah kemampuan sosialnya di masyarakat.
“Untuk bisa berbaur, anak mesti belajar menempatkan diri dan menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungannya. Nah, anak bisa mempelajari kemampuan itu dengan cara bergabung ke dalam suatu kelompok,” kata Riessman. Namun, pengaruh yang didapat dari peer-pressure tidak selalu buruk, kok.
“Jika tergabung dalam kelompok yang anggotanya secara rata-rata berprestasi di bidang akademis, anak terpacu untuk berprestasi pula. Itu sebabnya, di Amerika, ada banyak program pendidikan remaja yang disosialisasikan melalui metode mentoring berkelompok (peer mentoring),” ujarnya.
Sejak dini, sebaiknya orang tua mulai memerhatikan dengan siapa anak mereka bergaul setiap hari. Khusus teman-teman dekat yang akan banyak menghabiskan waktu dengan anak, mintalah ia lebih selektif dalam bergaul. Caranya, menurut Prof. Jennifer H. Pfeifer, pakar psikologi dari University of Oregon, Kanada, bukanlah dengan mendikte anak perihal dengan siapa ia boleh dan tidak boleh berteman.
Mengekang anak terlalu ketat berisiko membangkitkan hasrat memberontak di dalam hatinya. Yang terbaik, kata Pfeifer, adalah menjalin hubungan sedekat mungkin dengan anak-anak dan menanamkan pemahaman yang kuat mengenai hal-hal yang sifatnya prinsipil sejak dini. ”Jadi, ia memegang kontrol terhadap dirinya sendiri untuk ikut atau tidak ikut melakukan hal-hal apa pun yang dianggap keren oleh kelompoknya. Katakan kepada anak untuk memercayai insting dan akal sehatnya, sehingga peer-pressure tidak menjerumuskan dirinya ke hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Pfeifer.