Foto: Pexels
Menurut psikolog klinis anak dari University of Hawaii Dr Henri-Lee Stalk, orang tua yang memiliki anak tunggal tidak perlu khawatir berlebihan mengenai efek karantina berbulan-bulan seperti yang kita alami saat ini pada anak. “Kita semua berharap, begitu lockdown dibuka, anak-anak bisa lebih tangguh dan adaptif terhadap kehidupan normal yang baru,” ujar Dr Henri seperti dikutip theguardian.com
Namun, harapan baik itu tentu membutuhkan peran orang tua. Yaitu, harus bisa memberikan contoh ketenangan dalam menghadapi situasi yang tak menentu ini, menyiapkan sistem yang membuat anak tetap bisa beraktivitas harian serta mampu berkomunikasi dengan anak.
Tentu saja tidak mudah, membuat anak-anak tetap merasa ceria, bersemangat dan tidak bosan. Sementara, kita juga harus jungkir balik menyelesaikan pekerjaan kantor serta urusan rumah yang sepertinya tak kelar-kelar. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana bisa membuat anak-anak tetap merasa terhibur dan bisa bermain dengan senang.
Seperti Kevano, anak semata wayang Imelda, yang kini berusia 7 tahun. Biasanya, selain bersosialisasi di sekolah, tiap sore dia bermain dengan teman-teman sebayanya di kompleks perumahan. Namun, sejak Maret lalu, Kevano hanya bisa bermain sendirian. Kalaupun sempat bertemu kawan-kawan sekolahnya, itupun terbatas saat belajar secara online. Bosan? Sudah pasti ada saat-saat dia teriak bosan.
Tentu sedih melihat si anak kesepian. Seperti yang dikatakan Imelda, setiap kali Kevano bilang, “Mama..aku bosan…” dia akan tergopoh-gopoh, meninggalkan pekerjaannya sejenak, untuk memeluk si bocah dan mengajaknya mencari permainan baru. Entah itu nonton film secara streaming, memberi tantangan menggambar atau kadang kalau ada waktu, mengajaknya membuat cookies bersama.
Pada anak-anak yang lebih tua, di usia pra remaja, tentu bisa membuat diri mereka sibuk sendiri. Misalnya, dengan project-project menantang, seperti membuat mainan sendiri. Setidaknya selama 2-3 jam bisa ditinggal untuk mengerjakan tugas kantor atau beberes rumah.
Namun bukan berarti anak-anak yang lebih tua lebih mudah menjalani masa karantina ini, lho. Karena faktanya, menurut Dr Henri, menjelang dan di usia belasan, merupakan masa-masa yang berat bila anak-anak itu jauh dari teman-teman satu grupnya. “Pada usia ini, teman-teman memainkan peran penting dalam hidup mereka. Mereka menemukan identitas pribadi lewat teman-temannya,” ujar Dr Henri.
Karena menjaga pertemanan adalah hal penting bagi anak-anak usia menjelang dan remaja, Dr Henri menyarankan agar orang tua mendukung anak-anak untuk terus bersosialisasi. Carilah metode yang memungkinkan untuk bersosialisasi dengan teman di masa karantina ini. Misalnya, untuk anak yang menyukai game online, maka bisa mengajak temannya bermain bersama. Tapi dengan perjanjian waktu dan durasi bermain yang disepakati bersama.
Anak-anak memang umumnya lebih tahan banting pada kondisi yang berubah, tapi perlu waspada bahwa kesehatan mental dan masalah perilaku juga diperburuk oleh stress dan perasaaan terasing karena pandemi yang tak kunjung reda ini. “Jika anak kita bertendensi merasa cemas saat tidak bisa bersama-sama peer-nya, kita bisa duga bahwa mereka berpotensi mengalami kecemasan yang lebih besar selama karantina ini,” ujar Dr Henri. Hal yang sama juga berpotensi dialami anak-anak yang memiliki semangat rendah.
Sebagian anak juga akan mengembangkan perilaku yang berbeda selama masa karantina ini. Sebagai contoh, anak yang biasanya ceria dan pemberani, tiba-tiba jadi takut sendirian. Hal ini sebetulnya normal dialami anak-anak untuk mengekspresikan kegelisahan, kemarahan, serta kesedihan mereka terhadap lockdown.
Untungnya, anak-anak akan mudah pulih dari perasaan-perasaan tak nyaman tersebut begitu kembali ke kondisi semula, meski harus dipersiapan juga bila setelah karantina usai pun kehidupan tak lagi kembali persis seperti sebelum corona mewabah.
Menurut Dr Henri, ada hal-hal baru yang harus menjadi perhatian bersama. Hal ini terkait dengan perkembangan sosial anak. “Ketika kita ada pada kondisi sosial yang berubah, dan belum menemukan cara yang memungkinkan anak-anak berinteraksi, maka ada potensi anak-anak sulit mengembangkan kemampuan sosial mereka,” ujar Dr Henri. Bisa saja, anak-anak kini lebih nyaman bersosialisasi secara virtual.
Pada akhirnya, baik itu anak yang memiliki saudara kandung atau anak tunggal, di masa pandemi ini, mereka berhadapan dengan stress, keterasingan dan isolasi. Suatu saat, mereka pasti akan bisa bercerita pada kita, apa akibat dari pandemi ini terhadap kehidupan mereka. (wn)
Baca Juga:
5 Perbedaan Disiplin Positif vs Memanjakan Si Kecil
Kini Anak-anak juga Rentan Terkena Virus Corona