Foto: Pexels
Dari berbagai laporan dan studi pada awal wabah COVID-19 merebak di China dan Eropa, persentase anak-anak yang terjangkit virus SARS-CoV-2 ini memang lebih kecil ketimbang orang dewasa. Rata-rata negara yang terjangkit COVID-19 melaporkan kasus pada anak sebesar antara 1 sampai 5 persen, dengan angka kematian rata-rata di bawah 1 persen.
Menurut Dr. dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K), Konsultan Respirologi Anak, FKUI/RSCM mengatakan, rendahnya COVID-19 pada anak, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebabnya:
Pertama, mobilitas anak tidak seperti orang dewasa. Kalau orang dewasa mobilitasnya tinggi, bepergian ke tempat kerja, antar kota, antar pulau, naik kendaraan umum, sehingga kontak dengan orang lebih banyak. “Kalau anak kan relatif lebih sedikit, ke sekolah dan rumah. Kalaupun main, tidak terlalu jauh,” kata dr. Nastiti.
Dugaan kedua, orang dewasa memiliki banyak penyakit yang menjadi factor risiko seperti diabetes, hipertensi, jantung dll. Sementara, pada anak belum banyak.
“Namun, dugaan yang paling kuat adalah terkait dengan reseptor virus corona, yaitu ACE 2, yang pada anak itu belum sematang orang dewasa. Ekspresi ACE 2pada anak belum banyak,” kata dr Nastiti. Reseptor adalah tempat menempelnya virus pada sel inangnya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kalau melihat data di website PNBP, persentase kasus COVID-19 pada anak mencapai 7,5 persen. Ini angka yang lebih tinggi dari negara-negara lain. Persentase pasien usia 18 tahun ke bawah yang meninggal sebesar 1,2 persen. Jadi, meski persentasenya relatif rendah, COVID-19 juga bisa menyebabkan kematian.
“Dari pengalaman kami di rumah sakit, kebetulan saya bertigas di rumah sakit rujukan, mereka yang menjadi parah hingga meninggal adalah yang sudah punya penyakit sebelumnya, misalnya pada kanker atau keganasan, jantung bawaan, pasien dengan kekebalan rendah, pasien dengan autoimun,” jelas dr. Nastiti.
Namun, menurut dr. Nastiti, yang yang harus menjadi semua pihak adalah, meski laporan dan studi mengatakan kasus COVID-19 pada anak itu rendah, tetapi perlu belajar dari kasus pandemi influenza di Spanyol 1918. “Pada awal pandemi, anak-anak sedikit, tapi kemudian penyakit berkembang terus dan kemudian anak-anak rentan influenza. Pola epidemiologi penyakit bisa berubah seiring dengan perjalanan penyakit. Namanya juga penyakit baru, kita belum tahu,” lanjutnya.
Saat ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga terus mengumpulkan data, untuk memotret kondisi anak-anak di Indonesia di tengah pandemi ini. Apakah gambarannya sama dengan yang terjadi di luar negeri atau ada gambaran khusus. Ada yang bilang, COVID-19 di Eropa lebih ganas karena daerah empat musim, nyatanya di Indonesia pun kejadian pada anak juga tinggi.
“Kami juga meyadari, bahwa persentase juga dipengaruhi dengan tes. Di China, laporan-laporan awal wabah ini yang mengatakan bahwa banyak anak-anak meski positif namun tidak menunjukkan gejala itu didapat dari contact tracing,” kata dr. Nastiti. Maksudnya, begitu ada satu pasien positif, maka semua orang yang pernah berhubungan dengan pasien tersebut, termasuk anak-anak, dites. Dari laporan-laporan tersebut, kejadian di China, banyak anak-anak yang tesnya positif tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. “Yang jelas, kondisi di sini, jumlah tesnya tidak banyak. Dari data negara-negara, Indonesia masuk urutan terbawah untuk jumlah tes,” kata dr Nastiti.
Dr Nastiti menyadari, Indonesia memang snagat luas dan negara besar. Bahkan untuk tes swab saja, di Maluku, orang harus naik feri beberapa jam. “Pemerintah memang sudah berbuat banyak untuk menangani COVID-19, tapi harus diakui bahwa angka kita untuk tes memang masih rendah. Mungkin untuk provinsi-provinsi yang padat penduduk seperti Jawa dan Sumatera jumlah tesnya harus diperbanyak,” kata dr Nastiti. (wn)
Wawancara lengkap dengan Dr.dr. Nastiti Kaswandani SpA(K) bisa disimak di wanita.network podcast.
Baca Juga:
Kini Anak-anak juga Rentan Terkena Virus Corona