Wanita Network

Pendidikan Seksual Sejak Dini, Mengapa Harus Tabu?

 Bukan Hal Tabu, Pendidikan Seks Memang Harus Diajarkan Sejak Dini!
Foto: dok. Perempuan Berkisah


Hingga saat ini harus diakui bahwa masih banyak terjadi perdebatan dalam masyarakat Indonesia mengenai edukasi seksual sejak dini. Pasalnya, topik pembicaraan seputar seks masih dianggap tabu. Padahal edukasi seks sangat penting mengingat angka kekerasan seksual meningkat tajam, terutama di masa pandemi Covid-19.
 

Minimnya pengetahuan tentang hak seksualitas serta kesehatan reproduksi menjadi faktor utama kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, atau pelecehan seksual bahkan perkosaan.
 

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, menunjukkan 81% remaja perempuan dan 84% remaja pria telah berpacaran, di mana 45?ri remaja perempuan dan 44% remaja pria, mulai berpacaran sejak usia 15-17 tahun.
 

Rentang usia ini adalah usia saat  organ reproduksi telah beranjak matang dan mulai timbul ketertarikan secara seksual yang natural. Jika tidak mempunyai kapasitas soal kesehatan reproduksi dan hak seksual,  usia remaja 15-17 tahun menjadi usia yang sangat rentan terhadap praktik perilaku seksual yang tidak sehat dan berisiko hingga potensi menjadi korban kekerasan seksual.
 

“Edukasi seks yang komprehensif harus diajarkan sejak dini, bahkan di negara-negara maju, pendidikan reproduksi sudah diajarkan sejak kecil. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap individu menghormati dan menghargai diri dan anggota tubuhnya,” ucap Firliana Purwanti, pengarang buku The O Project, sekaligus politisi dan pemerhati pemberdayaan perempuan.dalam webinar berjudul “Female Orgasm, Myth vs. Fact yang diselenggarakan oleh komunitas Perempuan Berkisah dan SaveJanda, sebuah komunitas untuk memberdayakan para janda secara sosial dan ekonomi serta meminimalisir stigma negatif janda yang juga didukung oleh Wanita.Network. Selain Firliana, seminar ini juga menghadirkan praktisi komunikasi Pangesti Bernardus.
 

“Tentu saja pendidikan tersebut diajarkan sesuai level pemahaman dan kematangan si anak. Pendidikan reproduksi sendiri bukan hanya sekedar tentang bagaimana berhubungan seks. Lebih dari itu yaitu pemahaman yang tepat  bagaimana menjaga, membersihkan, serta merawat organ reproduksi khususnya untuk perempuan,” tambah Firli.
 

Pangesti Bernardus, mengatakan, “Banyak sekali kasus yang saya temui pada remaja-remaja yang sudah melakukan hubungan intim di usia remaja yang disebabkan karena terlalu polos dan masih labil. Selain itu, biasanya faktor psikologis juga mempengaruhi keputusan mereka dalam melakukan sesuatu. Misalnya seperti anak-anak yang kurang tercukupi kebutuhan emosionalnya, biasanya lebih mudah terjerumus dalam pergaulan bebas, yang berujung pada risiko terpapar dampak negatif dari hubungan seksual.”
 

Sejalan dengan tujuan pemberdayaan sebagai fokus utama, SaveJanda dan Perempuan Berkisah juga mendorong adanya kesadaran publik untuk berbagi melalui pundi donasi. Sebagian pemasukan dari penjualan tiket webinar #SexEd didonasikan untuk program pemberdayaan ekonomi dan dukungan kepada korban kekerasan yang disebut  Belanja Untuk Cinta’ (BUC).
 

BUC sebuah program donasi yang diinisiasi oleh Save Janda dan Perempuan Berkisah, untuk memberdayakan para perempuan korban kekerasan seksual, termasuk janda korban KDRT dan kekerasan ekonomi penelantaran suami.
 

“Kami paham bahwa, apa yang kami lakukan masih perlu banyak dukungan dari berbagai pihak. Sebab di luar sana begitu banyak korban perempuan yang membutuhkan dukungan agar mereka bisa berdaya. Maka kolaborasi Save Janda dan Perempuan Berkisah ini adalah bentuk nyata dukungan tersebut yang kami bentukan dalam program Belanja Untuk Cinta (BUC),” ucap Ni Loh Gusti Madewanti, mewakili komunitas Perempuan Berkisah. 


“Program Belanja Untuk Cinta sudah berjalan lebih dari tiga bulan, dan kami harapkan terus kontinu semakin dipercaya masyarakat untuk berjalan membantu para korban. Sebab sejauh ini, pundi donasi yang kami kumpulkan telah berhasil membantu beberapa penyintas untuk mendapatkan akses pemulihan psikologis dan pengobatan medis fisik bahkan membantu memulangkan penyintas ke daerah asalnya untuk menyongsong hidup baru yang lebih baik,” tutup Mutiara Proehoeman mewakili komunitas Save Janda. (wn)


Baca juga:

Ini Cinta atau Tergila-gila?

Sudahi Saja, Hubungan Ini Sudah Nggak Layak Dipertahankan


 

Artikel Terpopuler

Emagz