Wanita Network

RUU PKS Tak Jadi Prioritas Pembahasan DPR, Pasal Kekerasan Seksual, Aborsi dan Perbudakan Seksual Masih Kontroversial

Foto: Pexels

 

Pada 30 Juni lalu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang diusulkan Komisi VIII DPR untuk ditarik dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020 seperti yang diberitakan oleh detik.com.  Menurut Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopasang, hal ini terkait waktu pembahasan Prolegnas peioritas 2020 yang harus selesai sampai Oktober 2020. Pembahasan RUU PKS ini dinilai tak mungkin akan selesai pada Oktober mendatang, sehingga akan dimasukkan lagi di Prolegnas prioritas 2021).

 

“Ini buat malu kita, kan diundur lagi kan, belum dibahas," kata Marwan Dasopang.

 

Terlepas dari soal waktu pembahasan, RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang menulai kontroversi, baik dari masyarakat, anggota DPR sendiri juga mahasiswa dan akademisi. Fraksi PKS di DPR RI adalah yang tidak setuju.

 

Menurut Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS, mereka berkomitmen memberantas kejahatan seksual sehingga ingin perubahan nama RUU, menjadi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. "Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri," tegas Jazuli (Detik.com, 7/2/2019).
 

Berikut ini kritik-kritik Fraksi PKS terhadap sejumlah definisi seperti yang tertuang dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual :


a. pelecehan seksual
Didefinisikan pada Pasal 12 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

"Definisi tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.

 

(1) Bisa mengkriminalisasi misalnya kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT.  (2) Mengkriminalisasi kritik terhadap gaya berpakaian muda-mudi bahkan seks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya. Jangan hal-hal tersebut sampai dikriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama. Bahkan semestinya RUU mengatur dengan tegas larangan perilaku menyimpang seperti LGBT," kata Jazuli.

 

b. pemaksaan aborsi
Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

 

"Definisi ini jangan sampai dipahami bahwa aborsi menjadi boleh selama tidak ada unsur 'memaksa orang lain'. Tingkat aborsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku seks bebas/seks di luar nikah. Untuk mencegah hal itu maka aturan pelarangan aborsi (kecuali alasan yang sah secara medis) harus diatur terlebih dahulu dalam RUU," kata Jazuli.
 

 

c. pemaksaan perkawinan;
Didefinisikan pada Pasal 17 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

 

"Definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak) sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya 'memaksa' menikah. Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya," sebut Jazuli.

 

d. pemaksaan pelacuran;
Didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

 

"Definisi tindak pidana harus dilengkapi dengan pengaturan bahwa pelacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan Agama dilarang di republik ini. Sehingga secara otomatis pemaksaan pelacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang," ucap Jazuli.

 
 

e. perbudakan seksual;
Didefinisikan pada Pasal 19 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.
 

"Definisi harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah," tegas Jazuli.

 

Valentina Sagala dari Institut Perempuan sangat menyesalkan keputusan DPR untuk mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas prioritas 2020. "Ini menunjukkan ketidakmampuan DPR melihat urgensitas dibahas dan disahkannya sebuah UU yang komprehensif yang melindungi semua orang di negeri ini dari ancaman kekerasan seksuan," ujar Valentina kepada Wanita.Network.

 

Valen mengharapkan, Oktober 2020 DPR dapat memastikan RUU PKS masuk dalam Prolegnas prioritas 2021 dan segera dibahas dan disahkan. "Masyarakat perlu mengawal proses politik ini," tegas Valen. (wn)

 

(wn)

 

Baca Juga:

Kasus Sex Trafficking: Sosialita Inggris Ghislaine Maxwell Ditangkap, Pangeran Andrew Diminta Kooperatif

Gorontalo, Provinsi Paling Tinggi Terjadinya Praktik Sunat Perempuan di Indonesia

Artikel Terpopuler

Emagz