Wanita Network

Psikosomatik Akibat Corona dan Cara Mengatasinya

Foto: Pixabay

 

“Duh, tiba-tiba badan saya lemas dan napas jadi sesak. Jangan-jangan saya terjangkit virus corona, nih!”

 

Pernahkah Anda mengalami gejala tersebut, dan ketika diperiksa lebih lanjut, ternyata negatif COVID-19? Bahkan malah tidak ada indikasi sakit apa pun?

 

Hari-hari belakangan ini, kita memang dihinggapi kecemasan yang luar biasa dengan sebaran penularan COVID-19 yang pesat. Bagaimana tidak, dalam jangka waktu belum ada sebulan, jumlah positif COVID-19 di tanah air sudah lebih dari seribu orang. Setiap hari selalu ditemukan kasus baru, entah berstatus ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan), dan yang terkonfirmasi positif.

 

Berbagai tayangan informasi di media cetak dan elektronik nyaris seragam. Angka-angka yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus terus diperbarui. Lini masa media sosial tidak kalah dramatisnya. Berita faktual saja sudah cukup mengejutkan, ditambah lagi dengan kabar bohong alias hoax.

 

Ya, rasa cemas, khawatir, serta stres sekarang ini mewabah sebagian masyarakat. Dalam kadar tertentu, perasaan tersebut terbilang wajar. Namun, jika sudah berlebihan, menurut pakar kesehatan jiwa, berpotensi menimbulkan gejala-gejala seperti gejala orang terinfeksi virus corona. Di sisi lain, kecemasan dan stres yang luar biasa juga turut memengaruhi imunitas tubuh seseorang. Padahal yang dibutuhkan untuk menghadapi pandemi COVID-19 adalah kekebalan tubuh yang prima. 

 

Awas psikosomatik

Dalam ilmu kedokteran jiwa dikenal istilah psikosomatik. Psikosomatik dipahami sebagai kondisi orang yang mengalami gejala fisik tetapi sebenarnya ketika diperiksa tak ada perubahan fungsi organ dan tidak ada masalah medis. Gejala psikosomatik terjadi akibat ketidakstabilan sistem saraf otonom, di mana sistem saraf simpatis dan saraf parasimpatis tidak seimbang. Ini biasanya terjadi akibat faktor stres yang tidak mampu diadaptasi dengan baik. Kemudian tubuh mengalami tekanan terus-menerus lalu timbul gejala psikosomatik. 

 

Dikutip dari portal berita CNN Indonesia, saat orang mendapat info yang bermakna dan terus-menerus akan disimpan di amigdala sebagai pusat memori. Pusat memori ini juga merupakan pusat kecemasan. Kalau kelebihan beban, akan merespons dengan kecemasan seolah merasa ketakutan luar biasa akibat keadaan tertentu. Hal ini menciptakan suatu tekanan pada diri dan otak kemudian menjadi gejala psikosomatik.

 

Nah, untuk membedakan apakah gejala yang dialami adalah manifestasi dari gejala psikosomatik atau gejala COVID-19 yang sebenarnya, tentu perlu pemeriksaan. Keduanya bisa jadi memang ada kemiripan. Apabila demam, silakan cek apakah demamnya tinggi atau sekadar hangat saja. Jika muncul gejala batuk dan pilek, upayakan lebih dahulu dengan istirahat yang cukup dan asupan makanan bergizi seimbang. Kalau sampai sesak napas, maka hal ini perlu diamati lebih lanjut.

 

Untuk mencegah terjadinya gangguna psikosomatik, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yakni:

  • Redam kepanikan dengan memperkaya diri akan pengetahuan yang cukup tentang COVID-19. Pastikan informasi yang diperoleh memang valid dan berasal dari sumber yang jelas.
  • Lakukan skrining mandiri guna mengetahui kondisi kesehatan diri. Jika memang tidak pernah melakukan kontak dengan seseorang yang memiliki riwayat status ODP, PDP, dan terkonfirmasi positif, maka yang dilakukan selanjutnya adalah membiasakan diri untuk berperilaku bersih dan sehat.
  • Kelola stres dan cemas dengan tepat. Langkah penting dalam hal ini adalah menyaring bacaan maupun tontonan. Kumpulkan informasi yang akurat supaya dapat membantu dalam mengambil tindakan pencegahan melalui sumber kredibel dan tepercaya, seperti WHO, Center for Disease Control (CDC), dan Kementerian Kesehatan RI. Bisa juga cara melakukan aktivitas lain yang cukup menghibur, misalnya beres-beres rumah, mengutak-atik kendaraan pribadi, bermain musik, dan lainnya. Yang penting tidak hanya fokus pada berita-berita mengenai kasus COVID-19. (wn)
     

Artikel Terpopuler

Emagz