Foto: Pexels
Tanggal 2 April lalu dunia memperingati Hari Autisme Internasional. Hari ini diperingati untuk memberi pengetahuan yang benar tentang anak-anak dengan autisme. Sebab, hingga saat ini masih ada beberapa mitos tentang autisme yang menjadi stigma bagi pengidapnya. Dilansir verywellhealth.com, berikut adalah beberapa mitos tentang autisme yang masih sering terjadi di masyarakat:
Seorang anak yang tidak bisa bicara pasti tidak bisa mengerti
Kita mungkin sudah terbiasa dengan gagasan bahwa komunikasi verbal adalah tanda kecerdasan. Tetapi seorang anak yang memiliki kosa kata yang hebat belum tentu lebih mampu berperilaku baik daripada seorang anak dengan kosa kata yang terbatas. Bahkan seorang anak tanpa kata-kata mungkin cukup mampu memahami dan mematuhi peraturan, dengan asumsi bahwa anak tersebut berkomunikasi melalui tanda, papan komunikasi, atau cara lain. Anda mungkin perlu mengubah gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan anak dengan keterampilan verbal yang terbatas dan Anda mungkin perlu menggunakan alat komunikasi pilihan anak itu.
Anak-anak autis tidak pernah berkelakuan buruk tanpa alasan yang kuat
Memang benar bahwa banyak anak autisme merespons dengan kuat, dan mungkin menunjukkan ketidaknyamanan mereka melalui apa yang tampak sebagai perilaku nakal. Dan juga benar bahwa anak-anak dengan autisme lebih sering bereaksi jika mengalami bullying. Jadi kadang ‘perilaku nakal’ tadi hasil dari masalah yang ia terima dan harus diatasi.
Meskipun demikian, anak autisme adalah tetap anak-anak. Mereka marah dan memukul. Mereka melempar benda-benda yang seharusnya tidak dibuang. Mereka menaruh tangan di makanan atau membuang makanan mereka di lantai. Sama seperti anak-anak lain, anak-anak dengan autisme perlu belajar bahwa perilaku yang mengganggu tidak dapat diterima dan bahwa ada cara-cara alternatif untuk mengomunikasikan perasaan dan kebutuhan mereka.
Tidak adil mendisiplinkan anak dengan kebutuhan khusus
Kadang orang tua tidak tega memarahi anak dengan autisme saat mereka sedang ‘tantrum’. Tetapi orang tua harus tegas. Rasanya memang tidak adil mendisiplinkan anak untuk sesuatu yang tidak dapat dia hindari. Jadi, misalnya, memarahi anak dengan autisme karena ‘tantrum’ atau membuat suara mungkin tidak masuk akal. Tantrum adalah perilaku yang merupakan bagian tak terpisahkan dari autisme, dan mungkin hampir mustahil bagi anak untuk "memadamkan" perilaku itu. Orang tua perlu untuk mengajar anak autisme bahwa perilaku tersebut tidak dapat diterima. Membiarkan perilaku seperti itu berlanjut malah semakin membuat masalah baru jika ia tumbuh besar nanti. (wn)