Foto: Pixabay
Belakangan ini ramuan rempah khas Nusantara, jamu, menjadi topik bahasan masyarakat di tengah terjangan isu COVID-19 alias virus corona. Tidak lain dan tidak bukan karena beberapa rempah tersebut seperti jahe, kunyit, temulawak diyakini mampu meningkatkan antibodi di dalam tubuh sehinga bisa mencegah serangan penyakit, termasuk infeksi virus.
Namun, tak hanya punya khasiat untuk kesehatan, jamu juga punya filosofi hidup yang “berkhasiat” setidaknya untuk mengingat diri dan peran kita dalam kehidupan. Intinya, selain menyehatkan raga, jamu juga menyehatkan jiwa.
Dalam budaya Jawa ada delapan jenis jamu utama. Secara berurutan, jamu-jamu tersebut adalah Kunir Asem, Beras Kencur, Cabe Puyang, Paitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, Uyup-uyup atau Gepyokan, dan Sinom. Semua jenis jamu itu adalah simbol dari fase hidup manusia.
Kunir Asem (Kunyit Asam). Rasanya yang manis dan asam menyimbolkan awal hidup manusia dari ‘manisnya’ masa bayi yang dimanja ke ‘asamnya’ usia praremaja (11-14 tahun) yang mulai mengenal masalah, baik diri maupun lingkungan.
Beras Kencur. Rasanya yang sedikit pedas dan hangat mewakili usia menjelang dewasa (15-18 tahun) di mana itulah fase kita mulai selalu ingin tahu, egois, dan mencoba hal-hal baru tanpa dipikirkan baik-buruknya. Itulah mengapa beras kencur dimaknai sebagai bebering alas tan kena diukur (luasnya dunia tidak bisa diukur).
Cabe Puyang. Rasanya yang pedas-pahit cocok untuk suasana hati mereka yang berusia 19-21 tahun, saat mereka mulai merasakan pedas dan pahitnya dunia. Pesan dalam cabe puyang adalah cacating lambe purnaning sembahyang (jika ucapan tak dijaga sia-sialah doamu).
Paitan. Hingga usia menjelang 30 tahun kita semakin banyak mengalami banyak masalah hidup seperti pahitnya bahan-bahan jamu ini. Jika kita dapat melalui fase ini dengan baik, kita akan makin tahan banting menghadapi hidup yang sebenarnya.
Kunci Suruh. Inilah fase usia 30-45 tahun, masa keemasan hidup kita—tentu kalau kita mampu melalui fase-fase sebelumnya dengan baik. Di fase ini kita akan menikah, membangun rumah tangga, meraih cita-cita, dan berusaha lebih berarti buat lingkungan sekitar. Makanya, rasa jamu ini tidak pahit dan tidak pedas.
Kudu Laos. Mewakili fase hidup di mana kita mulai menebar kebaikan, berderma, menyumbang, dan peduli kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Laos diartikan sebagai ikhlas ing raos (memiliki rasa tulus ikhlas).
Uyup-uyup atau Gepyokan. Ini adalah jamu penetral rasa pahit setelah minum jamu sebelumnya. Menggambarkan fase hidup kita yang banyak mengabdi kepada Tuhan Sang Pencipta untuk menghilangkan dosa-dosa selama hidup.
Sinom. Dimaknai sebagai sirep tanpa nampa (diam dengan ikhlas alias meninggal dunia). Jamu ini rasanya manis, untuk menyimbolkan bahwa di akhir hidup kita seharusnya meninggal dalam keadaan bersih dan damai. (wn)